Seminggu yang lalu saya berkesempatan buat berlibur di salah satu pulau di Kepulauan Riau ini, Tepatnya di Pulau Anak Karas. Pulau ini juga biasa disebut Pulau Karas Kecil atau Pulau Lampu, jika masyarakat sekitar pulau karas ini menyebutnya. Disebut pulau lampu karena memang ada sebuah mercusuar kecil peninggalan Belanda yang ada di Pulau tersebut.
Saya tertarik untuk mengunjungi pulau ini karena diajak oleh rekan kerja saya mbak Anti untuk liburan bareng komunitasnya, yaitu komunitas Couchsurfing Batam. Saya berangkat kesana bersama beberapa orang dari komunitas Couchsurfing Batam menggunakan motor dari tempat saya tinggal di sekitar Batam Kota. Butuh sekitar satu jam perjalanan dari Batam Kota untuk menuju pelabuhan Sembulang.
Kami ketemuan di sebuah Pelabuhan rakyat di Pulau Sembulang, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang. Untuk bersama-sama berlayar ke Pulau Anak Karas tersebut. Sebenarnya ada alternatif lain dengan menaiki bus dengan rute Sembulang – Jodoh untuk bisa kepelabuhan tersebut. Namun kami urungkan karena waktu itu bertepatan dengan Idul Adha dan busnya sedang tidak beroperasi.
Untuk pelabuhannya jangan di bayangin besar yah, wkwkwk. Pelabuhannya cukup kecil dan angkutannya hanya terdapat perahu kecil saja, atau orang sini biasa menyebutnya Perahu Pompong. Dan jam keberangkatannya juga tidak terlalu banyak hanya sekitar jam 9 pagi atau jam 1 siang saja, menurut masyarakat sekitar. Namun kami jauh-jauh hari sudah berkomunikasi dengan beberapa kenalan buat menyewa satu perahu untuk mengantar kami menuju Pulau Karas. Jadi kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk bisa menyebrang kesana.
Sebelum menyebrang, sembari menunggu anggota yang lain untuk datang. Kami menyempatkan diri dulu untuk duduk dan memesan kelapa untuk diminum. Disaat kami memesan minuman tersebut saya baru mengetahui bahwa disekitar sini merupakan penduduk asli pulau ini. Maklum selama hampir setahun di Batam jarang sekali bertemu penduduk aslinya. Karena kebanyakan berasal dari perantauan, seperti dari Jawa, Padang, Medan, Bandung, Kalimantan, dan lain-lain. Namun ternyata penduduk asli di pulau ini kebanyakan berada di pesisir dan pulau-pulau sekitaran sini.
Kebanyakan penduduk sekitar pesisir ini berasal dari suku Melayu. Namun hal menariknya, saya sedikit belajar mengenai suku melayu disini hehe. Dalam mindset saya sebelumnya, bahasa melayu antara Malaysia dan Indonesia ada sedikit perbedaan yaitu dalam penggunaan kata e-nya. Seperti kata “Tidak ada” yang dibahasa melayu Malaysia “Takde” dan Melayu Indonesia “Takada”. Namun mindset tersebut berubah setelah saya mendengarkan dan berbincang dengan penduduk pesisir sini.
Penduduk melayu pesisir sini hampir tidak ada bedanya dalam bahasa melayunya dengan bahasa melayu Malaysia, sama-sama menggunakan e pada kata-katanya. Hal ini membuatku baru paham jika memang serumpun antara Indonesia dan Malaysia ini benar-benar tipis sekali, mungkin jika Kolonialisme tidak pernah hinggap di Nusantara mungkin kita akan menjadi satu bangsa.
Namun masih ada sedikit perbedaan antara melayu Malaysia dengan Indonesia, yaitu penggunaan kata serapan dalam bahasa Ingrisnya. Penduduk melayu Indonesia lebih jarang menggunakan kata-kata serapan dari bahasa Inggris. Yap satu hal lagi karena faktor Kolonialisme dimasa lalu, hehe.
Oke, balik ke Pulau Anak Karas lagi. dari Pelabuhan tadi butuh sekitar 30 menit lebih untuk sampai ke Pulau Anak Karas, dan harus melewati beberapa pulau lain seperti Pulau Mobot dan Karas besar. Dan jika kalian kesana saya harap anda tidak mabuk laut yah, karena letak pulaunya yang cukup jauh, perahunya kecil, serta ombaknya yang cukup kencang jika cuaca tidak bagus. Maklum jika perahunya kecil goyangan-goyangan perahunya akan lebih terasa nantinya.
Sesampainya di Pulau Anak Karas saya cukup senang sekali, karena ternyata pulaunya cukup bagus. Pulaunya kecil dengan Ada satu bukit di samping kirinya, serta pohon-pohon kelapa yang tersusun rapi disebelah kanannya. Dan yang paling penting, pengunjungnya cuman kami. hehe.
Mungkin karena situasi pandemi ini jadi tidak banyak orang yang berlibur kesini, dan belum cukup terkenal juga sih sebenarnya. Karena beberapa temanku yang sudah cukup lama tinggal di Batam belum mengetahuinya.
Jadi untuk hari itu kami yang menguasai pulaunya hehe. Untuk fasilitasnya jangan berharap ala-ala resort mewah di Maldives yah. Dipulau ini tidak ada listrik dan kalian hanya bisa tidur di tenda, hamock atau di semacam gazebo yang telah ada di Pulau ini. Namun untungnya sinyal 4G LTE masih bisa masuk kesini. Jadi kalian masih bisa pamer secara Live jika kesini nantinya hehe. Sinyalnya sendiri berasal dari pulau sebelahnya yaitu Karas Besar dan harap maklumi jika terkadang sinyalnya suka hilang yah, namanya juga numpang pulau sebelah.
Ada beberapa orang juga penduduk yang berjaga di Pulau ini sekitar 2-3 orang. Dan merekalah yang menyediakan air bersih, Galon, atau panci-panci untuk kami masak nantinya. Oh iya, penduduk sekitar siini juga berpakaian seperti Melayu Malaysia, seperti upin-ipin gitu dengan baju atasan dan bawahan yang sama. Kurang lebih seperti ini, namun yang memakainya kebanyakan orang tua.
Di pulau tersebut kalian sudah bisa melakukan berbagai aktifitas juga. seperti tiduran di hamock dengan membaca buku, bermain di pinggir pantai, atau juga mamancing. Kurasa ikan dikepulauan ini cukup banyak, karena kami memancing hanya menggunakan benang dan umpan tanpa galahnya suah bisa mendapatkan ikan yang cukup besar. Tanpa harus ketengah laut lagi, cukup dibibir pantai dan lemparkan umpannya.
Pulau ini juga cukup komplit dengan berbagai kondisi di bibir pantainya. Ada pantai yang berpasir putih, pantai yang bemiliki batu dan karang, serta beberapa hutan mangrove di pantainya. Jika kalian suka untuk berjalan agak jauh dan menikmati keindahan pulau ini dari ketinggian, kalian bisa mencoba untuk menaiki mercusuar peninggalan Belanda ini. Di sekitaran mercusuar tersebut juga ada beberapa rumah peninggalan Belanda yang masih kokoh berdiri sejak tahun 1886.
Disore harinya kami memasak bekal-bekal yang sudah kami bawa sebelumnya, serta membakar ikan hasil pancingan kami tadi. Rasa ikannya sendiri enak bangeeet, meski kami memasaknya tanpa bumbu apapun, hanya dibakar dan kami cemilin saja daging ikan tersebut. Dan jangan lupa jika sore hari dipulau ini indah sekali, matahari tenggelamnya membuat anda ingin merangkai kata ala nak senja pastinya.
Di pulau ini juga masih banyak keong atau mungkin dibeberapa daerah menyebutnya kelomang. Pada siang hari mereka kebanyakan tidur dan masuk ke lubang-lubang pasir pantai, dan ketika malam hari, barulah mereka semua muncul dan mengadakan gathering bersama. Lucu sekali hewan-hewan kecil ini ketika malam muncul bersamaan semua dan memenuhi daratan pantai pulau ini.
Keosokan harinya kami mencoba untuk mengitari seluruh pulau ini. Kami mencoba menelusurinya ketika pagi hari karena air cukup surut dan mudah untuk dilalui. Karena ketika pasang akan cukup rawan jika kita ingin melewati karang-karangnya. Butuh waktu sekitar satu jam untuk mengelilinginya, dan cukup melelahkan karena kebanyakan di bagian kiri pulau merupakan pantai dengan pinggiran karang dan batu-batuan.
Akhirnya jam setengah tiga sore kami memutuskan untuk pulang dan kembali ke Batam. Diperjalanan pulang ombaknya cukup tinggi sehingga membuat perahu miring dan menghentikan beberapa saat mesin perahunya agar tidak terbalik oleh ombak.
Dan akhirnya kami kembali ke pulau batam dan membawa kenangan indah di Pulau Anak Karas. Untuk biayanya sendiri saya kemarin hanya menghabiskan uang tidak lebih dari 200 ribu rupiah. Untuk menyebrang dan berbagai kebutuhan di pulau total semua 120rb, untuk parkir motor 2 hari 10rb, dan bensin motor dari Batam Kota ke pelabuhan PP sekitar 50rb. Biaya di pulau karas cukup murah karena ada anggota kelompok kami yang berasal dari pulau tersebut sehingga mungkin jika kalian kesana agak sedikit lebih mahal, tapi menurut saya sangat worth it untuk kalian mencoba berlibur kesana, apalagi jika kalian sedang merantau di Batam.
Sampai jumpa di artikel saya selanjutnyaaa…..